"Hari ini saya mau membuat pengakuan. Bukan tentang pekerjaan, bukan tentang deadline. Ini tentang sesuatu yang jauh lebih fundamental."
Pagi ini, saya menimbang badan. Angka di timbangan digital itu menatap saya tanpa ampun: 73,6 kg.
Mungkin angka itu tidak berarti apa-apa bagi Anda. Tapi bagi saya, itu adalah sebuah tamparan. Karena saya tahu tinggi badan saya hanya 165 cm. Dan saya tahu umur saya baru 35 tahun. Tiga puluh lima. Seharusnya ini adalah puncak produktivitas. Puncak karier. Tapi yang saya rasakan? Jompo.
Saya resmi merasa "jompo" di usia muda.
Diagnosa "Jompo" Versi Saya
Ini bukan sekadar "aduh, berat badan naik." Ini tentang rasa-nya.
Naik tangga dua lantai di kantor (atau bahkan di rumah) membuat napas saya terengah-engah seperti baru lari 5 kilometer.
Duduk terlalu lama? Sakit punggung dan pinggang sudah jadi teman akrab.Bangun tidur? Bukannya segar, saya malah butuh 30 menit (dan secangkir kopi pekat) hanya untuk merasa "nyala".
Bermain kejar-kejaran dengan anak? Saya yang kalah stamina duluan.
Bertahun-tahun saya mengabaikannya. "Ah, cuma capek." "Ah, kurang tidur." "Ah, kebanyakan kerja." Saya salah. Ini bukan "cuma". Ini adalah alarm kebakaran yang sudah berbunyi nyaring, tapi sengaja saya kecilkan volumenya.
Bagaimana Saya Sampai di Titik Ini?
Jawabannya ironis. Ini adalah harga yang saya bayar karena terlalu "Serius" dan lupa caranya "Santai".
Kekacauan work-life balance yang saya tulis di postingan pertama itu, inilah bukti fisiknya.
Pekerjaan "Serius" saya: Membuat saya duduk di depan laptop 8, 10, terkadang 12 jam sehari.
Makan "Santai"? Tidak. Makan saya "asal cepat". Genggaman tangan saya lebih akrab dengan mouse daripada dengan sendok-garpu yang benar. Makanan dipesan via aplikasi, yang penting kenyang, yang penting cepat, soal gizi urusan belakang.
Waktu "Santai"? Dihabiskan untuk scrolling di sofa karena sudah terlalu lelah untuk bergerak.
"Olahraga?" Saya tertawa miris. Kapan?
Saya menukar kesehatan saya demi deadline. Saya menukar kebugaran saya demi notifikasi email. Saya serius membangun karier, tapi santai menghancurkan badan saya sendiri.
Apa yang Harus Saya Lakukan?
Saya menanyakan ini pada diri saya sendiri di depan cermin pagi ini, dengan napas yang masih sedikit sesak. "Apa yang harus aku lakukan?"
Saya tidak tahu. Saya bukan ahli gizi. Saya bukan personal trainer. Tapi saya tahu satu hal. Filosofi "Serius Santai" yang saya buat untuk situs ini bukan lagi hanya untuk pekerjaan. Ini harus berlaku untuk kesehatan saya.
Ini adalah proyek baru saya. Mungkin ini adalah proyek terpenting dalam hidup saya.
Saya akan "Serius" soal Kesehatan. Saya harus serius melacak apa yang masuk ke mulut saya. Serius menyisihkan waktu untuk bergerak. Serius soal jam tidur. Jika saya bisa serius soal brief klien, kenapa saya tidak bisa serius soal tubuh saya sendiri?
Saya akan "Santai" soal Proses. Saya tidak akan melakukan diet ketat yang menyiksa. Saya tidak akan tiba-tiba lari maraton besok. Itu adalah resep kegagalan. Saya akan mulai "santai": jalan kaki 20 menit. Memilih minum air putih alih-alih minuman bersoda. Tidur 15 menit lebih awal.
Ini Bukan Jurnal Diet
Saya tidak akan mengubah situs ini menjadi blog kebugaran. Tapi saya akan jujur. "Jurnal Keseimbangan" saya akan mencakup ini. Perjuangan saya menurunkan 73,6kg ini adalah bagian terbesar dari perjuangan saya mencari work-life balance.
Karena apa artinya sukses dalam pekerjaan, jika saya tidak punya energi untuk menikmatinya? Apa artinya punya waktu untuk keluarga, jika saya tidak punya kesehatan untuk membersamai mereka? Mulai hari ini, seriusantai.my.id punya misi ganda.
Ini adalah titik balik saya. Tolong semangati saya.